Oleh : Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin dan al Ustadz Abu Nashim Mukhtar
Bahwasanya mengarungi bahtera rumah tangga adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu di dalam bentuk prosesi ibadah tersebut telah diatur di dalam Islam dari mulai awal memilih calon pasangan hidup.
Proses-proses menuju jenjang pernikahan:
Mencari pasangan hidup yang shalih atau shalihah
Agama telah mengatur sedemikian rupa dalam hal memilih pasangan dan proses pernikahan. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Demikian pula seorang wanita memilih pasangan hidup adalah laki-laki yang shalih, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang shalih dari hamba-hamba di antara kalian." (an Nuur: 32)
Ayat ini menjelaskan keutamaan seorang Muslimah untuk memilih laki-laki dari orang-orang yang shalih, yang baik, dan dikenal agamanya dalam hal aqidah, akhlak, manhaj. Sehingga dengan pilihan itu akan menentukan rumah tangga yang bak, diberkahi, dan bisa memberikan warna di masyarakat di sekitarnya.
Berkonsultasi dengan orang-orang yang bisa dimintai pendapat soal pernikahan
Agama juga mengajarkan ketika proses menuju pernikahan untuk berkonsultasi dengan orang-orang shalih atau orang-orang yang layak dimintakan pendapatnya sebagaimana kisah Fathimah bintu Qais. Fathimah mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm Radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا أَبُوْ الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah seorang yang fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah satunya, tapi –pent.) menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim no. 3681)
Makna “tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya” ditunjukkan dalam riwayat lain:
أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُوْ الْجَهْمِ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Adapun Mu’awiyah, ia lelaki yang fakir tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah lelaki yang suka memukul para wanita….” (HR. Muslim no. 3696)
Dari hadits ini jelas Islam menganjurkan untuk mendatangi orang-orang yang sekiranya bisa dimintai pendapatnya atau bimbingannya untuk kemudian dia bisa menentukan pilihan terhadap calon pasangan hidupnya.
Melihat calon yang akan dinikahi (nazhar)
Ketika sudah menentukan pilihannya, maka Islam mengajarkan agar ia melihat calon yang akan dinikahinya. Dalam sebuah hadits disebutkan ketika al Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab al Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. an Nasa`i no. 3235, at Tirmidzi no.1087. Dishahihkan al Imam al Albani rahimahullahu dalam ash Shahihah no. 96)
Dan para ulama berpendapat yang rajih bahwa proses nazhar sebatas yang biasa ditampakkan kepada mahramnya, tidak lebih dari itu.
Khitbah (melamar)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Demikianlah proses menuju pernikahan, hendaknya proses ini disampaikan kepada keluarga dengan hikmah dan bijak agar keluarga paham bagaimana Islam mengatur proses pernkahan agar semuanya berjalan dengan lancar. Juga membahas skenario pernikahan kepada orang tua mempelai putri untuk tidak keluar dari syari’at, seperti tidak ada musik, dipisah tamu lelaki dan wanita, tidak membaca shigot ta’liq, dan semacamnya, semuanya harus dibahas antar keluarga.
Bagaimana agar kehidupan rumah tangga Salafy menjadi indah?
1. Rumah tangga harus dibingkai dengan ilmu
Allah Azza wajalla berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah" (Muhammad: 19)
"Maka ketahuilah" merupakan perintah kepada kita untuk berilmu. Di dalam shahih bukhari juga disebutkan, bab : Ilmu sebelum berkata dan beramal.
Inilah ketika sesorang hendak berumah tangga ia harus membekali dirinya dengan ilmu seputar pernikahan dan rumah tangga. Suami istri harus senantiasa berbingkai dengan ilmu. Ketika ada kondisi kritis rumah tangga jika ia membingkai dengan ilmu, maka problema itu akan cepat berlalu, karena ia punya ilmunya. Ajaklah keluarga untuk rajin menuju kajian islam, majelis taklim rutin. Saling memahami di antara dua belah pihak dan yang bisa saling memahami adalah hanya orang yang berilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
وَ عَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ يَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)
Sehubungan dengan permasalahan ini, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
(( لاَ يَفْرَك مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر))
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/ perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Siapa yang paling bisa memahami istri? Jika Salafy setelah membaca hadits ini jadilah ia tahu bagaimana kecenderungan tabiat wanita, dan jadilah ia mau memahami karakteristik wanita sehngga dengan berbekal pengetahuan hadits ia bisa mengarungi rumah tangga yang indah. Maka berilah istri ilmu, belikan ia buku Islami, CD kajian, catatan taklim, bacakan ia kitab, dan selainnya.
2. Menutup aib-aib keluarga
Jangan mudah lisan bercerita tentang aib-aib keluarga. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat.” (HR. Muslim no. 2699)
Jangan mudah menceritakan kekurangan istri, atau kekurangan suami kepada orang lain, hendaklah ia menjaga kehormatan pasangannya.
3. Bisa bersikap adlil terhadap pasangan hidupnya (tidak zhalim)
Allah Tabaroka wata’ala berfirman,
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Namun bila kemudian mereka menaati kalian maka tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ini adalah tahapan-tahapan yang diajarkan agama sehingga suami tidak bersikap zhalim akibat dari kekurangan istri yang berbuat salah. Lihatlah jika istri membangkang maka yang pertama kali adalah berilah ia nasihat terlebih dahulu, diberikan mau’izhah dan penerangan kepada istri yang berbuat salah. Dinasihati dulu. jika ini diterapkan maka yang paling minim (jarang terjadi) kekerasan di dalam rumah tangga adalah keluarga Salafy.
al Imam al Qurthubi Rahimahullahu berkata,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar perbaikan istri dimulai pertama kali dengan mau’izhah kemudian dengan hujran. Bila kedua cara ini tidak manjur maka dilakukan pukulan, karena pukulan inilah yang dapat memperbaiki si istri serta membawanya untuk memenuhi hak suami. Pukulan dalam ayat ini adalah pukulan dalam rangka mendidik, bukan pukulan mubarrih. Pukulan yang tidak memecahkan tulang dan tidak menjelekkan anggota tubuh seperti dengan meninju dan semisalnya. Karena tujuan dari pukulan di sini adalah untuk perbaikan, bukan yang selainnya. Sehingga tidak disangsikan lagi, bila pukulan yang dilakukan oleh sang suami mengantarkan kepada kebinasaan istrinya, wajib baginya menanggungnya.” (Tafsir al Qurthubi, 5/112)
4. Saling ada pengertian dan saling membantu pekerjaan rumah
Selain itu perlu diperhatikan untuk menjaga hubungan suami istri hendaknya saling ada pengertian, dan saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, sebagaimana persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah? Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
"Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar untuk menunaikan shalat." (HR. Al-Bukhari no. 676)
Dari hadits Aisyah Radhiallahu’anha pula,
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ وَأَنَا أَنْظُرُ إلَى أَثَرِ الْغَسْلِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mencuci pakaian yang ada bekas air mani, lalu keluar untuk menunaikan shalat dengan pakaian tersebut, dan saya masih melihat bekas cucian itu. (Muttafaq Alaihi)
Yang kita bisa ambil dari hadits di atas, bahwa nabi Shallallahu’alaihi wasallam mencuci pakaiannya sendiri.
5. Menumbuhkan romantisme di dalam rumah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Dan di antara bentuk romantisme adalah bermain-main dengan istri, mengajak rekreasi yang mubah, jalan-jalan, piknik, dan sebagaimana di mana bertujuan untuk mempererat hubungan antar keluarga dan menghilangkan kejenuhan. Juga bermain dan becanda dengan anak-anak juga menumbuhkan romantisme dalam keluarga. Coba kalau punya rezeki yang banyak bisa naik haji dan umrah serta ziarah ke masjid nabawi dengan istri.
Juga di antara bentuk romantisme lainnya sebagaimana yang dicontohkan nabi Shallallahu’alaihi wasallam adalah memanggil istri atau suami dengan panggilan yang mesra. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memanggil istrinya yakni Aisyah Radhiallahu’anha dengan Humairo (si merah delima)
Itulah di antara beberapa point yang bisa membuat rumah tangga kita insya Allah menjadi lebih indah untuk kemudian bisa menciptakan suasana yang membuat kita betah di rumah. Begitu juga istri dan demikian pula istrinya harus memiliki sikap-sikap yang baik untuk kemudian terjadi berkah di dalam rumah tangga kita.
Wasiat untuk setiap istri
Dan wasiat kepada para istri hendaknya banyak-banyak bersyukur, di antara sendi rumah tangga salafy menjadi indah adalah banyak-banyak bersyukur atas segala yang diberikan suami, sebagaimana firman Allah Tabaroka wata’ala,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)
Meskipun punya rezeki sedikit bersyukur, terutama istri ketika suaminya mungkin secara finansial dalam keadaan kekurangan maka seorang istri hendaknya bersabar dan bersyukur. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
"Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur." Ada yang bertanya kepada beliau: "Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?" Beliau menjawab: "(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu." (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Maka jadilah engkau wanita shalihah, jika demikian wanita akan indah dipandang suami dan tenang dalam berumah tangga sebagaimana hadits nabi Shallallahu’alaihi wasallam,
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Dan wanita shalihah adalah salah satu dari empat sebab kebahagiaan, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Dan di antara ciri wanita shalihah (istri yang baik) adalah menyenangkan ketika dipandang suaminya, taat apabila diperintah, tidak menyelisihi amanah yang dititipkan dan harta suaminya (menjaga perasaan dan kehormatan suaminya).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang dishahihkan -dan sebagian ulama menghasankannya-, "barang siapa yang telah menikah maka ia telah menyempurnakan sebagian dari agamanya" (HR. Hakim)
Demikian pula tatanan hidup manusia sangat ditentukan sekali dengan tatanan di dalam berkeluarga. Sebuah negara baik dan buruknya sangat tergantung dengan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu para ulama yang memberikan nasihat ketika membahas penegakan syariat Islam,
أَقِيْمُوا دَوْلَةَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ تَقُمْ لَكُمْ فِيْ أَرْضِيْكُمْ
“Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian.” (lihat at Tashfiyah wat Tarbiyah hal. 33, oleh asy Syaikh al Albani Rahimahullahu)
Dan penegakan syariat Islam tersebut diawali dengan kita tegakkan terlebih dahulu di dalam rumah tangga kita. Rumah tangga yang harmonis tentu akan banyak membantu kita dalam beribadah, demikian pula sebaliknya rumah tangga yg penuh problema akan mengganggu kekhusuyan ibadahnya.
Banyak para ulama yan membuat kitab seputar rumah tangga, dan dalam pelajaran adab selalu ada bab "kitab ‘Isyrotin Nisa’ yang menjelaskan bagimanakah Islam mengajarkan untuk bergaul dengan istri atau pasangan.
Dan yang perlu dipahami bahwa setiap masalah yang timbul dan tidak dapa terselesaikan disebabkan dia belum siap untuk melaksanakannya. Ini kaidah umum. Demikian pula dalam rumah tangga jika suatu persoalan tidak dapat terselesaikan menandakan kita belum siap dalam berkeluarga. Permasalahan dalam rumah tangga pasti ada, makanya kita butuh instropeksi diri untuk menyempatkan waktu mempelajari hukum-hukum yang terkait dalam berumah tangga.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah atau hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip-prinsp dasar berumah tangga:
Selalu berusaha untuk mengingat kembali dengan tujuan apa kita mengikat tali pernikahan.
Terciptanya suasana sakinah (tenang secara zhahir dan bathin).
Sebagaimana yang dijelaskan Allah Subhanahu wata’ala,
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (al A’raf: 189)
Meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu carilah pasangan yang benar-benar mampu meningkatkan ketaatan dan ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Bahkan dalam hal jima’ (hubungan suami istri) juga termasuk ibadah karena di sana terdapat pahala. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya, "Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya?" Beliau bersabda, "Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala." (Riwayat Muslim, dari Abu Dzar Radhiallahuanhu )
Oleh karena itu kita wajib berusaha agar suasana ketenangan dalam rumah tangga selalu terjaga, demikian pula ketaatan kepada allah harus selalu terjaga dengan meninggalkan segala sebab yang bisa merusak ketenteraman dan ketaatan dalam rumah tangga.
Segala macam bentuk kebaikan dan terkait dengan hak orang lain, maka keluargalah yang paling berhak untuk mendapatkannya. Sebaliknya segala macam bentuk keburukan dan terkait dengan hak orang lain, maka keluargalah yang paling berhak untuk dijauhkan
Artinya jika kita bisa bersikap baik kepada orang lain, semisal kasir kepada customernya, satpam bersikap ramah kepada tamunya, maka seharusnya ia harus bisa bersikap lebih baik daripada itu kepada keluarganya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik Radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Kita diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada orang lain maka keluarga lebih berhak kita ucapkan salam kepada mereka. Kita diperintakan untuk mendoakan orang lain maka keluarga lebih berhak untuk mendapat doa dari kita. Kita diperintah untuk bersedekah kepada orang lain maka keluarga lebih berhak menerima shodaqoh dari kita. Jika kita bisa bersikap baik dan ramah kepada orang lain, maka istri atau suami dan anak kita lebih berhak untuk mendapatkan kebaikan dari kita. Kalau kita bisa bermanis muka kepada pimpinan dan meminta maaf dengan sangat jika berbuat kesalahan maka keluarga lebih berhak untuk bermanis muka dan meminta maaf dengan sangat kepada keluarga jika kita berbuat salah kepada mereka. Demikian pula jika kita diperintah untuk menepati janji maka terhadap keluarga kita lebih berhak untuk menepati janji, dan sebagainya.
Islam melarang untuk Su’uzhan (prasangka buruk) kepada orang lain maka terhadap istri atau suami, dan anak lebih tinggi tingkat keharamannya untuk kita bersu’uzhan kepadanya. Demikian pula benci, hasad, dendam, dan sebagainya.
Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Setiap pasangan mendahulukan kewajibannya dengan keyakinan ia akan mendapatkan haknya
Di dalam Islam kita diajarkan untuk memahami hak dan kewajban tetapi yang lebih ditekankan adalah kita melaksanakan kewajibannya. Tatanan hidup akan seimbang ketika ia melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Sebaliknya tatanan akan rusak jika mereka melalaikan kewajibannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya." (al Baqarah: 228)
Kata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, "Aku ingin sekali berhias untuk istriku sebagaimana aku menuntut istriku berhias untuk diriku."
Untuk merealisaskan ayat ini kita mesti bisa berkorban untuk menyenangkan istri kita. Sebagai misal istri menyukai rambut kita gondrong padahal kita ndak suka. Maka sebagai seorang suami yang baik kita rela untuk menjadikan rambut kita gondrong. Dan contoh lain yang semisalnya untuk menyenangkan pasangan kita. Demikian pula seorang istri untuk menurut suaminya walaupun hal itu tidak ia sukai asalkan kemauannya tidak melanggar syar’i. Dan ini salah satu bentuk menjalin keharmonisan rumah tangga Salafy.
al Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah berkata, "Yang dimaksud firman Allah Ta’ala dalam al Baqarah ayat 228 adalah seluruh hak kewajiban istri serta suami, kemudian patokan hak dan kewajban itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun al Quran dan as Sunnah telah menjelaskan hal ini.
al Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu dalam tafsirnya terhadap al Baqarah ayat 228, "Laki-laki memiliki kewajban sebagaimana laki-laki memiliki hak. Maka hendaknya masing-masing menunaikan kewajibannya kepada pasangannya dengan cara yang ma’ruf sehingga kehidupan rumah tangga akan seimbang."
Membiasakan hidup bermusyawarah di dalam rumah tangga
Umpamanya mencari tempat tinggal, membeli kendaraan, atau selainnya hendaknya bermusyawarah dengan istri. Artinya membiasakan hidup bermusyawarah dengan keluarga.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (al Imran: 159)
Berkata Syaikh Nashir as Sa’di dalam tafsirnya, "Perkara-perkara yang membutuhkan musyawarah, pemikiran, dan pertimbangan maka mengajak orang lain untuk membicarakannya akan membawa banyak mashlahat, faidah, manfaat dunia dan akhirat yang tidak terhitung jumlahnya."
Musyawarah ini juga dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau dan para sahabatnya berencana melaksanakan umrah di Baitullah. Mereka berangkat dari Madinah menuju Makkah yang masih dikuasai oleh orang-orang musyrikin dalam keadaan berihram. Namun orang-orang musyrikin ini menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk masuk ke Makkah. Lalu terjalinlah perjanjian antara beliau dan orang-orang musyrikin bahwa beliau baru diperkenankan masuk ke Makkah untuk berumrah di tahun mendatang. Karena batal berumrah beliau pun hendak bertahallul dari ihramnya dan memerintahkan kepada para sahabatnya:
قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْا
“Bangkitlah kalian lalu sembelihlah hewan kalian, lalu cukurlah rambut kalian.”
Namun apa yang terjadi? Demi Allah tak satupun dari para sahabat yang bangkit memenuhi perintah beliau hingga beliau mengucapkan hingga tiga kali. Ketika tidak ada satupun yang bangkit menjalankan perintah beliau, beliau pun masuk ke tenda istrinya, Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha. Beliau keluhkan pada sang istri apa yang beliau dapatkan dari sikap para sahabatnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang itu? Aku perintahkan mereka dengan satu perkara namun mereka tidak melakukannya.”
Istri yang shalihah ini pun berkata:
يَا نَبِيَّ اللهِ، أَتُحِبُّ ذلِكَ؟ اُخْرُجْ، ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُو حَالِقَكَ فَيحْلِقَكَ
“Wahai Nabiullah! Apakah engkau ingin mereka melakukan apa yang engkau perintahkan? Keluarlah, lalu jangan engkau mengajak bicara seorang pun dari mereka hingga engkau menyembelih sembelihanmu dan engkau memanggil tukang cukurmu lalu ia mencukur rambutmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjalankan saran istrinya yang memiliki kecerdasan dan pendapat yang bagus ini. Beliau keluar dari tenda, tanpa mengajak bicara seorang pun beliau menyembelih hewan sembelihannya dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambut beliau. Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka pun bersegera bangkit. Mereka menyembelih hewan-hewan mereka dan sebagian mereka mencukur rambut temannya hingga hampir-hampir sebagian mereka membunuh sebagian yang lain disebabkan kegundahan dan kesedihan mereka (HR. Al-Bukhari no. 2731, 2372)
Demikian pula tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ketika pertama kali mendapat wahyu dari Allah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dengan hati yang bergetar untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid Radhiallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga hilang rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang beliau rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah Radhiallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang mulia:
كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq” (HR. Al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 401)
Termauk dalam menu sehari-hari, wajar bila seorang istri bertanya, "hari ini masak apa, besok masak apa" dalam rangka musyawarah masakan dengan suami.
Kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
"Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (al Baqarah: 228)
Demikian pula Rasulullah dalam hadits yg driwayatkan Ibnu Syaibah al Baghdadi, dari Abu Sa’id al Khudri Radhiallahu’anhu: "Salah seorang sahabat pernah membawa putrinya menemui nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Kata sahabat ini, ‘Wahai Rasulullah, putriku tidak mau menikah." Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata kepada putrinya, ‘Taati apa keinginan ayahmu’. Putri sahabat berkata, ‘Demi Allah dzat yg mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menikah sampai engkau memberitahukan kepadaku apakah hak suami yang harus dikerjakan istrinya’. Maka nabi Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Hak suami atas istrinya seandainya suaminya terluka dia siap untuk menjilatnya, atau ketika keluar dari lubang hidungnya nanah atau darah dia siap untuk menelannya, itupun seorang istri belum bisa dikatakan menunaikan hak suaminya’. Setelah itu shahabat tersebut menikahkan putrinya." (Hadits dikatakan Hasan Shahih oleh Syakkh al Albani Rahimahullahu)
Tanggung jawab suami lebih besar daripada tangung jawab istri
Hadits Abdullah ibnul Umar Radhiallahu’anhuma,
وعن بن عمررضى اللّه عنهماعن النّبىّ صلّى اللّه عليه وسلّم قال : كلّكم راع وكلّكم مسءول عن رعيّته ، والأميرراع ، والرّجل راع على أهل بيته ، والمرأةراعيّةعلى بيت زوجهاوولده ، فكلّكم راع وكلّكم مسءول عن رعيّته (متفق عليه)٠
Dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda, "Kalian adalah pemimpin dan kalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya baik buruknya rumah tangga terkait erat dengan kepemimpnan seorang ayah (suami). Baik buruknya istri maka suamilah yang bertanggung jawab. Jadi jika istri berbuat salah maka di akhirat nanti suami yang akan bertanggung jawab karena suami adalah pemimpin baginya. Maka kewajiban suami adalah mendidik istri dan anak agar mereka tidak menyimpang.
Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita" (an Nisa: 34)
al Imam ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, "Seorang suami atau ayah adalah pengatur dalam rumah tangga, suami adalah pemimpin, pembesarnya, dan yg menentukan arah rumah tangga, suami yang bertugas untuk meluruskan istri ketika ia menyimpang."
Demikianlah kaidah-kaidah dalam berumah tangga, semoga kita bisa mengamalkannya dan menjadikan rumah tangga kita menjadi indah.
Wallahu a’lam bish shawab
[Dinukil dari buku catatan taklim saat mendengarkan rekaman daurah mp3 berjudul Indahnya Rumah Tangga Salafy, sumber audio: http://alklateniy.wordpress.com/2010/01/04/download-rekaman-daurah-indahnya-rumah-tangga-salafy/]
Sumber : http://sunniy.wordpress.com/2010/02/17/indahnya-rumah-tangga-salafy-bagian-1/ dan http://sunniy.wordpress.com/2010/02/17/indahnya-rumah-tangga-salafy-bagian-2-tamat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar