Oleh : Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar Radiyallahu ‘anhu , beliau berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak ada pada-nya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa di bulan Ramadahan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”. (HR. Muslim juz 1 hal 133)
Inilah dasar-dasar Islam.
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.
Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kali-mat tersebut. Kalimat ini mengandung per-nyataan bahwa tidak ada yang berhak dii-badahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwen-sinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’) dan pene-tapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus ber-sama yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa peniadaan adalah paga-nisme dan kesyirikan.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid
لاإله إلا الله .
Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih. Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله.
Akan tetapi, seorang yang percaya bah-wa Allah adalah penguasa dan penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ (الزخرف: 9)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ. (الزخرف: 87)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan me-reka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?. (az-Zukhruf: 87)
قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُنَّ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْئٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يجُاَرُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تُسْحَرُوْنَ. (المؤمنون: 84-89)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa.” Katakanlah: “Siapakah yang ada di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84-89)
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah -pun terkandung konsekwensi tauhid uluhiyah juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan orang yang mengerti bahwa Allah sebagai penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya dengan kalimat اَفلا تسحرون (maka dari jalan manakah kamu ditipu?)
Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuk-tikan dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang ham-ba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bu-mi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih.
Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena sebagian ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazi-lah dan asy’ariyah dan sejenisnya meneri-ma lafadz-lafadznya tetapi menolak makna-nya dengan tahrif (penyimpangan makna-nya) atau tafwidh (tidak mau menerje-mahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).
Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat يد (Tangan) bagi Allah tetapi mereka mengatakan bahwa يدmaknanya bukan ta-ngan tetapi kekuatan. Mereka menerima sifat غضب (marah) tetapi mereka mengatakan bahwa غضب maknanya bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima lafadznya tetapi menyimpangkan maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.
Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan makna dari lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki يد tapi kami tidak tahu mak-nanya; Allah memiliki sifat غضب. Tetapi kami tidak tahu maknanya, kami serahkan semua-nya kepada Allah. Dan mereka tidak mau mengartikan يد dengan tangan dan غضب de-ngan marah.
Pendapat mereka ini bertentangan de-ngan hikmah diturunkannya al-Qur’an de-ngan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَكُمْ تَعْقِلُوْنَ. …يوسف: 2
Sesungguhnya Kami menurunkannya beru-pa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya. (Yusuf: 2)
b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. الشورى: 11
Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi maha Melihat. (asy-Syura: 11).
Maka kita harus meyakini Allah memiliki يد (tangan), tetapi tidak sama dengan tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat غضب (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang mengata-kan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Mene-tapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita. Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wahyu telah berhenti, Rasulullah I telah wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya?!!!
Pertanyaan كيْفَ. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat di antaranya Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –tepatnya mempertanyakan—bagaimana isti-wanya Allah di atas arsy-Nya. Beliau rahimahulllah menjawab:
اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ وَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ مَجْلِسِهِ.
al-Istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya Allah)nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib dan ber-tanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya.
Dengan demikian dalam beriman kepa-da nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita ha-rus memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemah-kannya secara dhahir dengan alasan me-nyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak me-nyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.
(Sumber : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=474)
Setelah kita memahami makna syahadat لا إله إلا الله yang mengandung konsekwensi keikhlasan dalam beribadah hanya kepada Allah maka kita bahas pada edisi kali ini tentang syahadat yang kedua yaitu محمداً رسول الله .
Di dalam riwayat lain disebutkan dengan kalimat yang lebih lengkap : وأن محمداً عبدُه ورسولُه “Bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin As-Shamit) yakni persaksian yang diberikan kepada Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib yang berasal dari bani Hasyim dari Quraisy dari kalangan Arab dengan dua sifat besar dan mulia yaitu Al-Ubudiyah (kehambaan khusus) dan Ar-Risalah (kerasulan).
Sifat kehambaan ialah meyakini bahwa beliau, shalallahu 'alaihi wassalam adalah seorang hamba Allah yang diciptakan–Nya, milik Allah; yang berarti tidak memiliki sifat ketuhanan, rububiyah atau uluhiyah. Tidak pula memiliki sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah. Di mana beliau Shalallahu 'alaihi wassalam tidak bisa menolak takdir, mengabulkan do’a, atau menentukan siapa yang mendapatkan hidayah dan siapa yang tidak, demikian seterusnya.
Sedangkan sifat kerasulan menunjukan bahwa beliau Shalallahu 'alaihi wassalam benar-benar seorang rasul; utusan Allah yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Beliau Shalallahu 'alaihi wassalam adalah manusia terbaik, manu-sia pilihan, seorang yang terpercaya dan menjadi kepercayaan Allah.
Dengan penetapan sifat kerasulan bagi beliau ini, mengandung konsekwensi-konsekwensi sebagai berikut:
1. Kita harus memuliakan dan mengutamakan beliau Shalallahu 'alaihi wassalam di atas seluruh manusia. Meng-hormati beliau beserta segenap syariat yang dibawanya di atas seluruh syariat lainnya.
Hal itu semua tidak akan terwujud kecuali dengan mengamalkan syariatnya dan mencintainya di atas kecintaan terhadap diri sendiri.
Allah berfirman:
إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا ]8[ لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ… ]الفتح: 8-9[
Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagung-kan dan memuliakannya serta menghor-matinya… (al-Fath: 8-9)
2. Mendahulukan ucapannya di atas seluruh ucapan manusia tanpa terkecuali dan ber-amal dengan sunnah-sunnahnya.
Allah ta’ala berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. ]الحجرات: 1[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Menge-tahui. (al-Hujurat: 1)
3. Mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Allah ta’ala berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ…
]النساء: 59[
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.. (an-Nisa’: 59)
Dan dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَآ ءَاتَاَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا… ]الحشر: 7[
Apa yang ditetapkan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. (al-Hasyr: 7)
4. Menjadikannya sebagai suri tauladan dalam semua sisi kehidupan kita yaitu dengan menjadikan sunnahnya sebagai sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan al Qur’an. Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا للهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرِ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا. ]الأحزاب:
21[
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu; bagi orang yang mengharap (rahmat) dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. ]النساء: 65[
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hake-katnya) tidak beriman hingga mereka men-jadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mere-ka tidak merasa keberatan dalam hati mere-ka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa’: 65)
Dengan dua sifat Rasulullah -yakni sebagai Rasul dan hamba Allah- ini tertutuplah dua pintu kesesatan dan penyimpangan dari golongan yang berlebih-lebihan (al-ifrath) dan golongan yang bermudah-mudahan (at-tafrifth).
Golongan al-ifrath adalah mereka yang melampaui batas dalam memuji dan mengangkat Rasulullah sehingga menyamakan derajatnya dengan Allah atau memberikan sifat-sifat yang sesungguhnya hanya layak bagi Allah semata atau mendudukkannya seperti kedudukan Allah.
Mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam telah menyerupai Nashrani ketika menuhankan nabi Isa ‘alai-his sallam, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun memperingat-kan umatnya agar jangan seperti mereka. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ. (متفق عليه)
Janganlah kalian memuji aku secara ber-lebihan sebagaimana Nashrani memuji Isa bin Maryam, aku hanyalah seorang hamba maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak berkenan dipuji se-cara berlebihan dan melampaui batas seba-gaimana umat Nashrani melakukannya kepa-da Isa bin Maryam. Sedemikian berlebihan-nya mereka dalam memuji Nabi Isa hingga mereka memberikan derajat ketuhanan kepadanya.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak menghendaki hal itu terjadi pada dirinya dan dilakukan oleh umatnya. Dalam suatu riwayat disebutkan: “Ketika sekelompok orang datang kepada Ra-sulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sambil mengatakan: “Engkau adalah Yang paling Agung dan Mulia yang tiada tandingannya”. Maka beliau berkata: “Berkatalah kalian tapi jangan dirasuki setan””. (HR Abu Dawud)
Sebagian lagi ada yang berkata: “Ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam engkau yang paling baik, anak orang yang paling baik dan sayyid kami, anak dari sayyid kami”. Beliau menjawab: “As-Sayyid adalah Allah”.
Dan bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكَمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أَحَبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِيْ الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه أحمد والنسائي)
Wahai segenap manusia berkatalah kalian dengan perkataanmu dan janganlah kalian dikuasai hawa nafsu setan, aku adalah Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka jika kalian meninggikan kedudukanku di atas kedudukan yang telah Allah tempatkan bagiku. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Perbedaan mereka dengan kaum Nash-rani adalah bahwa jika kaum Nashrani menyatakan dengan tegas Isa adalah Tuhan-nya, titisan Tuhan, atau anak Tuhan sesuai dengan perselisihan yang ada pada mereka. Adapun mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak mengucapkan lafadz-lafadz seperti Nashrani, tetapi mereka mengungkapkannya dalam bentuk perbuatan yaitu: berdoa kepadanya, menganggapnya ikut menakdirkan sesuatu bersama Allah, dapat menentukan manfaat dan madharat, menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan dan lain-lain. Bahkan mereka memberikan sifat-sifat yang sesungguhnya hanya layak bagi Allah seperti: عالم الغيب (mengetahui yang ghaib), pemberi jalan keluar dari kesulitan-kesulitan, penolong hamba yang berada dalam kesusahan di manapun ia berada, ruhnya diyakini hadir di tengah-tengah mereka ketika membaca syi’ir pujian kepadanya, padahal beliau telah wafat. Lebih dari itu julukan-julukan yang berlebihan acap disandarkan kepada beliau seperti:
أَنْتَ نُوْرٌ فَوْقَ نُوْرٍ
Engkau (Muhammad) adalah cahaya di atas cahaya,
وَمِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتُهَا
Dan dari kedermawananmu (adanya) dunia dan pasangannya,
وَمِنْ عِلْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ.
Dan termasuk dari ilmumu adalah ilmu Lauhul mahfudz dan pena.
Dan ucapan-ucapan ghuluw lainnya.
Beliau tidak ridho dengan semua yang mereka ucapkan dan sangkakan kepadanya. Karena Allah ta’ala telah memerintahkan beliau untuk menyatakan:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إَنَّ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ. ]الأعراف: 188[
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa membe-rikan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (al-A’raaf: 188)
Keyakinan dan prinsip batil itu masih hidup di tengah-tengah umat. Inilah yang kita katakan dengan golongan ahlul ifrath atau ahlul ghuluw (golongan yang melampaui batas).
Sebaliknya bagi golongan ahlut tafrith, mereka menjatuhkan martabat beliau dan merendahkannya dengan menolak sunnah-sunnahnya secara total seperti yang terjadi pada para pengingkar sunnah yang dikenal dengan istilah aliran ingkarus sunnah atau qur’aniyyun. Mereka ini dikafirkan oleh para ulama dan dihukumi sebagai murtad (keluar dari agama Islam) dikarenakan kalimat syahadat yang diyakininya hanya sebatas لا إله إلا الله sehingga membatalkan persaksiannya terhadap kalimat محمدا رسول الله dengan pengingkarannya terhadap sunnah-sunnah nabinya.
Para pengingkar sunnah itu diancam oleh Allah dengan ancaman yang berat. Allah ancam mereka dengan Jahannam dan kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman:
…وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَآ أَبَدًا ]الجن: 23[
…Dan barangsiapa yang bermaksiat kepa-da Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguh-nya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (al-Jin: 23)
Allah ancam mereka dengan kesesatan di dunia dan adzab neraka di akhirat, Allah ta’ala berfirman:
…وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآئَتْ مَصِيْرًا. ]الجن: 23[
…Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan me-ngikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kemba-li. (an-Nisa’: 115)
Serta diancam dengan fitnah kesesatan dan kekufuran. Sebagaimana firman Allah:
…فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ
أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. (النور: 63)
Maka hendaklah orang-orang yang menye-lisihi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. (an-Nuur: 63)
Demikian pula bagi mereka yang meno-lak sebagiannya seperti yang terjadi pada ahlul bid’ah dari kalangan mu’tazilah, kaum rasionalis, Islam liberal (liberal yang mengaku Islam, seperti Ulil Abshor Abdalla, red)dan sejenisnya. Mereka adalah golongan sesat yang diancam oleh Rasulullah dengan neraka. Inilah yang dikatakan dengan ahlut tafrith. Mereka merendahkan Rasulullah dengan mengang-gapnya hanya sebagai seorang pengantar surat; mereka menerima suratnya yaitu al-Qur’an –menurut mereka- dan tidak ada ka-itannya dengan pengantarnya.
Dua golongan tersebut di atas terbantah dengan makna yang terkandung dalam kali-mat syahadat محمدا رسول الله. Ahlul ifrath menen-tang kehambaan beliau yang terkandung dalam محمدا عبده dan ahlut tafrith menentang kerasulan beliau yang terkandung dalam kalimat محمدا رسول الله.
Kesimpulan dari pembahasan kali ini adalah bahwa syahadat محمدا رسول الله mem-berikan konsekwensi kepada kita yaitu keha-rusan bagi kita untuk mentaati hal-hal yang diperintahkannya, membenarkan segenap apa yang dikabarkannya, meninggalkan segala yang dilarang dan dicelanya. Dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan sya-riat yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam kepada kita serta mendahulukan sunnah beliau di atas segenap ucapan manusia tanpa terkecuali siapapun ia orangnya dengan tanpa ifrath dan tafrith.
(Sumber : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=718)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar